Sabtu, 07 Juni 2014

Resensi

Judul                    : Reog Ponorogo. Menari di Antara Dominasi dan Keragaman
Penulis                 : Muhammad Zamzam Fauzannafi
Penerbit              : Kepel Press, 2005, Yogyakarta
Bahasa                : Indonesia
Jumlah halaman : 205



Reog Ponorogo, seperti namanya lahir di bumi Ponorogo, sebuah daerah di Jawa Timur. Reog Ponorogo sebagai kesenian rakyat banyak berperan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan adat istiadat setempat. Di samping sebagai alat penghibur yang amat digemari, reog juga sering dipergunakan pada arakan pengantin, perayaan dan upacara adat seperti bersih desa, atau pun pada perayaan nasional seperti memperingati Proklamasi dan sebagainya. Dengan demikian disamping sebagai alat hiburan Reog Ponorogo pun mempunyai peranan simbolik yang bersifat mistik. Bagi orang-orang yang percaya dapat dipergunakan sebagai penolak bala, penolak sial dan sebagainya.

 Dalam penampilannya reog biasanya terdiri dari dhadhak merak (penari bertopeng kepala harimau, dengan seekor merak bertengger di atasnya dan bulu-bulu ekornya tersusun menjulang ke atas), jathilan (penari laki-laki/perempuan) yang memerankan prajurit, warok (laki-laki berbadan gempal, berkumis dan bercambang serta berpakaian hitam), pemeran Raja Klono Sewandono serta Patih Bujangganong. Ditambah pemain gamelan dan penggemarnya (di sana dikenal dengan sebutan tiyang hok’e).

Pada masa lalu reog tidak lepas dari tradisi gemblakan dan minuman keras. Gemblak adalah laki-laki muda dan tampan yang dipelihara warok untuk “kesenangan”, sebagai pengganti wanita. Bagi warok “berdekatan” dengan wanita dapat melunturkan kesaktian. Tradisi gemblak untuk saat ini sudah tidak ada. Tetapi tradisi minum minuman keras masih sulit untuk dihilangkan.

Untuk melestarikan dan menggembangkan reog, serta menghilangkan unsur-unsur negatif ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah daerah Ponorogo, diantaranya menggadakan festival reog. Sehingga di sana ada dua istilah reog, yaitu reog festival dan reog obyogan (reog tanggapan umum). Reog festival penuh dengan aturan, urutan adegan, kostum dan gendingya sudah ditentukan. Sedang reog obyogan lebih bebas, adegan tidak harus lengkap dan urut, kostum dan gending juga lebih bebas. Reog Ponorogo sampai saat ini masih lestari dengan segala perkembangan dan dinamikanya.

Faktor utama yang mempengaruhi penyebaran Reog Ponorogo ini adalah daya pesona Reog Ponorogo yang demikian kuat sehingga sangat disenangi oleh penontonnya. Disamping itu orang-orang Ponorogo sendiri mempunyai rasa kebanggaan yang tebal terhadap kesenian tersebut. Sehingga bila seniman reog berpindah tempat terdapat kecenderungan mereka mendirikan suatu unit kesenian Reog Ponorogo di tempat “perantauan” itu.

Kelebihan : Buku ini menceritakan sebuah cerita populer di masyarakat Ponorogo tentang tarian reog yang merupakan kebudayaan dari Kota Ponorogo itu sendiri. Kelebihan dari buku ini terletak pada kreativitas penulis yang menyoroti aspek-aspek sosial-politik yang terdapat didalam kesenian. Pendekatan yang diambil penulis sebuah pilihan kreatif yang berharga di tengah khasanah pustaka tentang kesenian di tanah air yang pada umumnya berorientasi tekstual. Penulis juga berhasil menyuguhkan informasi, seputar konteks reog ponorogo secara menawan dan rinci, serta menawarkan ‘pembacaan’ atasnya secara kritis. Itulah kekuatan buku ini.


Kekurangan : Terletak pada judulnya karena pembaca mungkin mengharapkan informasi yang lengkap tentang apa itu reog ponorogo. Dalam buku ini penulis tidak bercerita tentang makna – makna dibalik pertunjukkan reog ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar